HARTABUTA :
Jum'ah, 14-6-2024.
Sumber :
Isi :
Biografi KH. Abu Manshur ( BPH. Diponegoro).
KH Abu Manshur ketika kecil bernama RM. Kala atau BPH. Diponegoro. Beliau adalah putra dari Prabu Amangkurat IV (Amangkurat Jawi/ RM Suryaputra, putra dari Paku Buwana I) yang lahir pada tahun 1711 dari Ibu yang bernama Radèn Bandondari putri Adipati Kudus.
Sepeninggal Prabu Amangkurat IV tahta Kasunanan Kartasura diserahkan kepada putranya yang bernama RM Prabasuyasa (Sunan Paku Buwana II). Sedangkan RM Kala lebih tertarik pada ilmu keagamaan. Ia meninggalkan keraton dan memperdalam ilmu agama di sebuah pesantren di Tegalsari Ponorogo yang diasuh Kiai Kasan Besari.
Di pesantren itu RM Kala menyamar sebagai orang biasa supaya diperlakukan selayaknya murid pada umumnya. Meski demikian Kiai Kasan Besari menilai RM Kala berbeda dari murid lainnya. Ia cerdas dan cepat menguasai ilmu yang diajarkan. Sehingga ia menaruh simpati dan mencuriganya sebagai keturunan bangsawan. Ketika RM Kala merasa mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk mengembangkan agama Islam, dengan jiwa kemandiriannya, mencari daerah yang kondusif sebagai tempat berdakwah.
Atas saran Kiai Kasan Besari, RM Kala berjuang di wilayah timur Ponorogo, yaitu Ngrowo, tepatnya di daerah "Tawangsari". Untuk memperlancar tujuan berdakwah, ia mendirikan masjid dan pondok. Selain diajari ilmu agama, murid-muridnya diajari ilmu kanuragan atau pencak silat yang berguna untuk melawan kaum penjajah (VOC). Seiring dengan berkembangnya Tawangsari sebagai pusat keagamaan, RM kala berganti nama menjadi R. Qosim "Abu Manshur".
Melihat potensi dari RM Kala / R.Qosim. Kiai Kasan Besari menjodohkannya dengan putri dari muridnya yang sudah tersohor dari Sewulan Madiun, yakni Kiai Bagus Harun Basyariyah (putra R. Nolojoyo, keturunan P. Sutowijoyo/Panembahan Senopati (Senopati Mataram Islam).
Bersama istrinya, RM Kala/ R. Qosim meneruskan perjuangan menyebarkan agama Islam di Tawangsari. Untuk memperkuat kedudukan dalam berdakwah dan berjuang melawan penjajah khususnya wilayah timur, ia mendapatkan.
Layang kekancingan piagam:
1. Layang kekancingan dari Sunan Paku Buwono II pada tahun 1746 M.
2. Layang kekancingan dari Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1750 M, dan dipinjami pusaka keraton yaitu "Kiai Banteng Wulung" karena setelah perjanjian Giyanti Tawangsari masuk kedalam kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Bukti Sejarah :
1. Adanya "layang kekancingan" untuk desa Tawangsari dari Sri Sultan Hamengkubuwono I seperti, desa-desa perdikan lain, seperti Tegalsari, Banjarsari, Sewulan dan daerah lainnya.
2. Disebutkannya kata "Merdiko" 2 (dua) kali, yang bermakna "penguasa" dan "pemerintahan sendiri yang merdeka".
3. Adanya bangunan masjid.
4. Terdapatanya tulisan di Nisan "Bendoro Raden Ayu Tulungagung Kang Sapisan" di kompleks pemakaman keluarga Kanjeng Kiai Abu Manshur. Ia adalah Ray. Sulastri, merujuk sejarah Babad Tulungagung yang menyebutkan bahwa daerah perdikan Tawangsari pernah dikunjungi raja.
و الحمد لله رب العالمين
صلى الله على محمد
0 comments:
Post a Comment